Orang tua kandungku tinggal ayahku
seorang. Ibu kandungku meninggal saat aku SMA. Sejak itu ayah berusaha
keras menjadi dua orang sekaligus untuk aku dan kakakku. Ia tahu aku dan
kakakku belum bisa hidup mandiri. Ia melakoni banyak pekerjaan untuk
membuat keadaan kami tidak jauh berbeda dari sebelum kami kehilangan
ibu.
Ini terjadi di hari pertamaku
bekerja. Awalnya aku masih berpikir bahwa bekerja adalah tahapan hidup
yang harus dilalui, sesederhana itu. Aku akan bekerja, mendapatkan gaji
dan memberikan sebagian gajiku untuk orang tua yang selama ini
membiayaiku.
Ternyata aku hanya
menggunakan otak dan sibuk dengan kecemasan akan hari pertamaku sendiri.
Aku ingat suatu saat aku dan sahabatku ngobrol.
"Gimana reaksi ayahmu setelah tau kamu kerja?", tanyanya.
"Hmm, biasa aja sih. Cuma kasih selamat.", jawabku.
"Oh itu sih sebenernya di balik pintu ayahmu terharu.", sahutnya.
"Hahaha.. iya mungkin. Tapi ayahku nggak pernah yang heboh-heboh gitu kok.", balasku.
Ternyata
bekerja itu bukan hanya sebuah tahapan hidup di mana kita hanya
melakukan sesuatu kemudian mendapatkan uang. Setengah hariku hampir
habis di kantor untuk mempelajari ini dan itu. Dalam setengah hari itu
pun aku berubah menjadi sosok yang lain dari kemarin.
Aku
melepas segenap zona nyamanku, berusaha beradaptasi dengan lingkungan
baru, mengerjakan ini dan itu. Gila, aku capek sekali. Kemarin aku masih
bisa tidur siang dan nonton TV. Masih bisa menghabiskan waktu untuk
bermain-main.
Aku pun teringat ayahku
yang sudah tua. Ini baru sehari dan aku sudah merasakan sebegitu luar
biasanya bekerja. Sedangkan ayahku? Ia sudah menempuh puluhan tahun
untuk bekerja. Ia menghadapi semua untuk menghidupi kami semua. Saat
melakukan sholat Ashar, aku hampir menitikkan air mata memikirkan ini.
Apa saja yang sudah kulakukan untuk ayahku? Apa saja yang sudah ayahku
lakukan ketika aku dengan malasnya enak-enakan tidur siang dan nongkrong
membuang banyak uang?
Aku pulang malam hari itu. Sahabatku mengantarkanku pulang. Di tengah perjalanan kami kembali bercakap-cakap.
"Gimana hari pertama?"
"Hahahaha... Babak belur aku dihajar tugas dan waktu."
"Oh nggak apa-apa, nanti juga kamu terbiasa. Ayahmu pasti terharu waktu kamu ngasih gaji pertama."
Sejenak aku setuju akan pemikirannya. Namun tak lama kemudian aku membatin, "Nggak.
Gaji pertamaku nggak ada apa-apanya kok. Itu nggak akan cukup membayar
apa yang sudah dilakukan ayahku. Bahkan, aku bekerja ini masih satu per
sejuta langkah hidup ayahku.".
Ayahku,
walaupun mungkin ia tidak terharu di balik pintu, namun di balik
matanya sudah menggerombol keharuan yang nyaris tak terbendung. Walaupun
aku sudah besar, ia akan tetap khawatir ketika putrinya akan berangkat
kerja di hari pertama. Walaupun aku akan menyodorkan gaji pertamaku, itu
tidak akan sebanding dengan apa yang telah ia berikan, bahkan aku masih
diberi kesempatan Tuhan untuk menerima lebih banyak lagi.
Ayah, aku baru benar-benar menyadari bahwa kau benar-benar luar biasa.
*so, kalian yang masih punya orang tua lengkap, sayangi mereka yaa, :)*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar